Monday, June 2, 2008

Elementary Feebleness of Indonesia Tourism

[ Senin, 02 Juni 2008 ]
Kelemahan Mendasar Pariwisata Indonesia
Oleh Didik J. Rachbini *

Sekarang Juni, berarti kebijakan dan program Visit Indonesia Year 2008 (VIY 2008) sudah berlangsung hampir setengah tahun. Pertanyaan yang muncul, apa yang sudah dicapai selama beberapa bulan ini dan sejauh mana hasil dari kebijakan dan program VIY 2008 tersebut?

Sebenarnya, jika dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, kebijakan dan program VIY 2008 itu bisa dijadikan titik balik untuk mengatasi stagnasi pariwisata saat ini. Tetapi, karena pelaksanaannya masih sayup-sayup didengar, keinginan untuk menjadikan program VIY 2008 sebagai titik balik tidak bisa diharapkan terlalu tinggi oleh masyarakat, termasuk stakeholders pariwisata Indonesia.

Pada waktu peluncuran program tersebut, kemeriahan dan perhatian publik tidak terlihat atraktif. Bahkan, presiden tidak hadir, yang menunjukkan bahwa pariwisata belum menjadi sektor unggulan yang harus diperhatikan. Belum ada kesadaran pada level paling tinggi untuk menjadikan sektor itu sebagai sektor unggulan.

Sumber daya minyak pasti habis. Namun, yang menjadi pendukung pariwisata bukan sumber daya alam. Sumber daya pariwisata mudah dikembangkan karena tersedia di depan mata sebagai kekayaan alam, warisan budaya, atau kondisi sosial yang unik.

Yang diperlukan hanyalah kesadaran untuk mengembangkan potensi serta menjaga aset tersebut. Lebih jauh, tangan pemerintah dan stakeholders lainnya perlu mengembangkan sistem untuk pemasaran dan promosi.

Tetapi, kemudahan dan potensi pariwisata tersebut tidak berkembang. Itu terlihat dari kunjungan wisatawan internasional yang relatif rendah dibandingkan dengan wisatawan internasional di negara lain di sekitar kita. Malaysia, Singapura, dan Thailand jauh berlari mendahului kita selama ini. Semua itu disebabkan banyak kelemahan yang membelit sistem kepariwisataan kita.

***

Apa kelemahan mendasar dari pariwisata Indonesia pada saat ini? Pertama, kelemahan pada level citra atau image. Indonesia tergambar sebagai negara atau wilayah yang tidak aman, fluktuasi politik tidak pasti, dan citra kisruh sosial yang dianggap berkepanjangan.

Citra itu tidak menggambarkan keadaan Indonesia yang sebenarnya, tetapi citra kisruh tersebut ada di pikiran komunitas pariwisata internasional. Peringatan perjalanan (travel warning) dari AS yang berlangsung bertahun-tahun -meski beberapa hari lalu telah dicabut- menghambat pengembalian citra Indonesia untuk menjadi negara tujuan yang aman.

Karena itu, pencabutan peringatan perjalanan oleh pemerintah AS baru-baru ini dapat dijadikan modal untuk menuju ke arah tersebut.

Mengelak dan mengubah citra itu memang tidak mudah, tetapi bisa dilakukan dengan sistem dan program pencitraan tinggi dengan keterlibatan negara pada level pimpinan negara yang tertinggi serta dukungan sumber daya yang besar. Tanpa tindakan kolektif seperti itu, pencitraan Indonesia masih akan bermasalah sehingga sulit bagi wisatawan untuk memilih Indonesia sebagai tujuan wisata pada urutan atas.

Kedua, elemen promosi dan pemasaran pariwisata Indonesia lemah karena tersangkut dengan birokrasi yang geraknya terbatas. Kultur birokrasi Indonesia sulit berubah dan berkembang untuk membawa misi program internasional yang dinamis dengan tantangan kompleks.

Birokrasi Indonesia bisa bergerak dinamis jika ada pemimpin yang kuat di departemen yang bersangkutan. Itu merupakan kelemahan mendasar dari promosi kita selama ini karena sistemnya tidak berjalan dinamis, spontan, dan otomatis.

Karena itu, jalan untuk memperbaiki fungsi promosi dan pemasaran tersebut harus direformasi dengan melibatkan elemen yang dinamis di luar birokrasi, terutama sektor privat dan stakeholder lainnya yang terkait erat dengan pariwisata itu. Gagasan tentang badan promosi adalah salah satu cara untuk mereformasi sistem promosi dan pemasaran pariwisata di Indonesia agar lepas dari jebakan stagnasi ketergantungan pada birokrasi yang rumit.

Aspek perencanaan pariwisata tidak memadai serta kemampuan mengantisipasi peluang dan tantangan ke depan jauh dari yang diharapkan. Akibatnya, kegiatan pariwisata yang ada sekarang bersifat apa adanya.

Daya tarik wisata hanya warisan dari yang sudah ada, bahkan tidak ada pengembangan secara memadai agar daya tarik tersebut dipelihara. Tidak sedikit pula daya tarik pariwisata yang mengalami kemunduran, punah, dan hilang begitu saja karena tidak ada usaha yang cukup memadai untuk menjaganya. Bahkan, yang paling naif, kesadaran untuk menjaga kelestarian daya tarik wisata tersebut juga tidak ada sama sekali, baik dari pemerintah maupun pemerintah pusat.

Ketiga, kelemahan yang mendasar pada birokrasi Indonesia tidak lain adalah kelemahan dalam sistem koordinasi. Pada pemerintahan sekarang ini, banyak kebijakan lintas sektoral yang terbengkalai karena masalah birokrasi. Sektor pariwisata terkait dengan 17 urusan di sektor atau departemen lainnya yang tidak mudah dalam sistem koordinasi. Ciri birokrasi di Indonesia adalah ekslusivitas negatif yang melekat dalam tindakan dan kiprahnya dalam menjalankan pelayanan publik.

Jika hendak mengatasi masalah itu, kita perlu membangun sistem koordinasi pada level tinggi, yang diwajibkan UU agar sektor terkait memberikan dukungan kuat terhadap kebijakan dan program untuk pencapaian tujuan dan sasaran pariwisata. Koordinasi diangkat di atas level menteri agar ada otoritas koordinasi yang efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada.

Keempat, kelemahan dari pariwisata Indonesia juga terletak pada sistem perencanaan dan implementasi di lapangan. Birokrasi rumit dengan berbagai sektor yang banyak dan beragam dengan prioritas tidak pasti.

Dalam keadaan seperti itu, pariwisata yang terkait dengan banyak sektor sulit dikoordinasikan. Setidaknya 17 urusan atau sektor terkait dengan pariwisata merupakan kerumitan tersendiri bagi birokrasi sehingga melemahkan sistem perencanaan ke depan.

Kelembagaan koordinasi menjadi langka dan sangat penting untuk dijalankan sebagai sebuah sistem, yang harus dijalankan oleh departemen terkait. Pimpinan koordinasi, ternyata, memang tidak bisa efektif pada level menteri sehingga harus dinaikkan pada level presiden atau wakil presiden.

* Didik J. Rachbini, ekonom, anggota DPR

No comments: