Monday, June 2, 2008

Tentang Sepasang Pusaka Naga Raja

Sepasang Pusaka Nogo Rojo





Keistimewaan dari Pusaka Naga Raja diantaranya adalah, bagi siapapun yang memilikinya akan dikarunia kedudukan yang tinggi di lingkungannya, tidak akan pernah bisa miskin dan seterusnya. Gambar Sepasang Pusaka diatas bisa berdiri bukanlah rekayasa, melainkan apa adanya, menunjukkan bahwa Pusaka tersebut diatas masih besar tuahnya. Jenis Pusaka Naga Raja ini banyak tersebar di Tanah Jawa, karena memang pulau Jawa pada Jaman dahulu terkenal dengan banyaknya Kerajaan-kerajaan dan para Empu pembuat Pusaka dari berbagai pelosok Negeri, dan kebanyakan Pusaka-pusaka ini pada Jaman sekarang dikuasai oleh Pejabat-pejabat tinggi atau setidak-tidaknya oleh Pengusaha/Konglomerat kaya.
Adapun sejarah dari kedua pusaka ini berbeda dengan Pusaka-pusaka sejinisnya yang lain, menurut sejaranya pada Jaman dahulu pada suatu Hutan diputaran Ngawi terkenal dengan adanya huruhara yang disebabkan oleh kedua Naga/Ular besar yang mengamuk, banyak penduduk yang ketakutan, banyak pula para pendekar yang berusaha menundukkannya, namun kesemuanya tidak berhasil, gagal, bahkan banyak yang tewas diantaranya. Sampai kemudian datanglah salah Seorang Demang/Pejabat setingkat Bupati/Pembantu Bupati yang juga memiliki Kesaktian dan daya kanuragan yang luar biasa, ahli tirakat, ahli berpuasa, banyak ilmunya, sakti mandraguna, salah seorang murid dari Pesantren MakamAgung Tuban yang kebetulan dipercaya sebagai Demang di wilayah Cepu, Propinsi Jawa Timur. Oleh sang Demang akhirnya kedua Naga tersebut berhasil ditundukkan dan kemudian berubah menjadi sepasang Pusaka sebagaimana gambar diatas, Yaitu sepasang Pusaka Nogo Rojo (Naga Raja). Oleh sang Demang sebagai Dharma Bhaktinya kepada sang Guru yang telah mengajarinya berbagai macam Ilmu, termasuk Ilmu Agama, Pemerintahan, Syiasa/Politik, Kanuragan, Kewalian dan sebagainya, kedua Pusaka tersebut akhirnya diserahkan dan dihadiahkan kepada salah seorang Gurunya di Pesantren MakamAgung Tuban

Elementary Feebleness of Indonesia Tourism

[ Senin, 02 Juni 2008 ]
Kelemahan Mendasar Pariwisata Indonesia
Oleh Didik J. Rachbini *

Sekarang Juni, berarti kebijakan dan program Visit Indonesia Year 2008 (VIY 2008) sudah berlangsung hampir setengah tahun. Pertanyaan yang muncul, apa yang sudah dicapai selama beberapa bulan ini dan sejauh mana hasil dari kebijakan dan program VIY 2008 tersebut?

Sebenarnya, jika dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, kebijakan dan program VIY 2008 itu bisa dijadikan titik balik untuk mengatasi stagnasi pariwisata saat ini. Tetapi, karena pelaksanaannya masih sayup-sayup didengar, keinginan untuk menjadikan program VIY 2008 sebagai titik balik tidak bisa diharapkan terlalu tinggi oleh masyarakat, termasuk stakeholders pariwisata Indonesia.

Pada waktu peluncuran program tersebut, kemeriahan dan perhatian publik tidak terlihat atraktif. Bahkan, presiden tidak hadir, yang menunjukkan bahwa pariwisata belum menjadi sektor unggulan yang harus diperhatikan. Belum ada kesadaran pada level paling tinggi untuk menjadikan sektor itu sebagai sektor unggulan.

Sumber daya minyak pasti habis. Namun, yang menjadi pendukung pariwisata bukan sumber daya alam. Sumber daya pariwisata mudah dikembangkan karena tersedia di depan mata sebagai kekayaan alam, warisan budaya, atau kondisi sosial yang unik.

Yang diperlukan hanyalah kesadaran untuk mengembangkan potensi serta menjaga aset tersebut. Lebih jauh, tangan pemerintah dan stakeholders lainnya perlu mengembangkan sistem untuk pemasaran dan promosi.

Tetapi, kemudahan dan potensi pariwisata tersebut tidak berkembang. Itu terlihat dari kunjungan wisatawan internasional yang relatif rendah dibandingkan dengan wisatawan internasional di negara lain di sekitar kita. Malaysia, Singapura, dan Thailand jauh berlari mendahului kita selama ini. Semua itu disebabkan banyak kelemahan yang membelit sistem kepariwisataan kita.

***

Apa kelemahan mendasar dari pariwisata Indonesia pada saat ini? Pertama, kelemahan pada level citra atau image. Indonesia tergambar sebagai negara atau wilayah yang tidak aman, fluktuasi politik tidak pasti, dan citra kisruh sosial yang dianggap berkepanjangan.

Citra itu tidak menggambarkan keadaan Indonesia yang sebenarnya, tetapi citra kisruh tersebut ada di pikiran komunitas pariwisata internasional. Peringatan perjalanan (travel warning) dari AS yang berlangsung bertahun-tahun -meski beberapa hari lalu telah dicabut- menghambat pengembalian citra Indonesia untuk menjadi negara tujuan yang aman.

Karena itu, pencabutan peringatan perjalanan oleh pemerintah AS baru-baru ini dapat dijadikan modal untuk menuju ke arah tersebut.

Mengelak dan mengubah citra itu memang tidak mudah, tetapi bisa dilakukan dengan sistem dan program pencitraan tinggi dengan keterlibatan negara pada level pimpinan negara yang tertinggi serta dukungan sumber daya yang besar. Tanpa tindakan kolektif seperti itu, pencitraan Indonesia masih akan bermasalah sehingga sulit bagi wisatawan untuk memilih Indonesia sebagai tujuan wisata pada urutan atas.

Kedua, elemen promosi dan pemasaran pariwisata Indonesia lemah karena tersangkut dengan birokrasi yang geraknya terbatas. Kultur birokrasi Indonesia sulit berubah dan berkembang untuk membawa misi program internasional yang dinamis dengan tantangan kompleks.

Birokrasi Indonesia bisa bergerak dinamis jika ada pemimpin yang kuat di departemen yang bersangkutan. Itu merupakan kelemahan mendasar dari promosi kita selama ini karena sistemnya tidak berjalan dinamis, spontan, dan otomatis.

Karena itu, jalan untuk memperbaiki fungsi promosi dan pemasaran tersebut harus direformasi dengan melibatkan elemen yang dinamis di luar birokrasi, terutama sektor privat dan stakeholder lainnya yang terkait erat dengan pariwisata itu. Gagasan tentang badan promosi adalah salah satu cara untuk mereformasi sistem promosi dan pemasaran pariwisata di Indonesia agar lepas dari jebakan stagnasi ketergantungan pada birokrasi yang rumit.

Aspek perencanaan pariwisata tidak memadai serta kemampuan mengantisipasi peluang dan tantangan ke depan jauh dari yang diharapkan. Akibatnya, kegiatan pariwisata yang ada sekarang bersifat apa adanya.

Daya tarik wisata hanya warisan dari yang sudah ada, bahkan tidak ada pengembangan secara memadai agar daya tarik tersebut dipelihara. Tidak sedikit pula daya tarik pariwisata yang mengalami kemunduran, punah, dan hilang begitu saja karena tidak ada usaha yang cukup memadai untuk menjaganya. Bahkan, yang paling naif, kesadaran untuk menjaga kelestarian daya tarik wisata tersebut juga tidak ada sama sekali, baik dari pemerintah maupun pemerintah pusat.

Ketiga, kelemahan yang mendasar pada birokrasi Indonesia tidak lain adalah kelemahan dalam sistem koordinasi. Pada pemerintahan sekarang ini, banyak kebijakan lintas sektoral yang terbengkalai karena masalah birokrasi. Sektor pariwisata terkait dengan 17 urusan di sektor atau departemen lainnya yang tidak mudah dalam sistem koordinasi. Ciri birokrasi di Indonesia adalah ekslusivitas negatif yang melekat dalam tindakan dan kiprahnya dalam menjalankan pelayanan publik.

Jika hendak mengatasi masalah itu, kita perlu membangun sistem koordinasi pada level tinggi, yang diwajibkan UU agar sektor terkait memberikan dukungan kuat terhadap kebijakan dan program untuk pencapaian tujuan dan sasaran pariwisata. Koordinasi diangkat di atas level menteri agar ada otoritas koordinasi yang efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada.

Keempat, kelemahan dari pariwisata Indonesia juga terletak pada sistem perencanaan dan implementasi di lapangan. Birokrasi rumit dengan berbagai sektor yang banyak dan beragam dengan prioritas tidak pasti.

Dalam keadaan seperti itu, pariwisata yang terkait dengan banyak sektor sulit dikoordinasikan. Setidaknya 17 urusan atau sektor terkait dengan pariwisata merupakan kerumitan tersendiri bagi birokrasi sehingga melemahkan sistem perencanaan ke depan.

Kelembagaan koordinasi menjadi langka dan sangat penting untuk dijalankan sebagai sebuah sistem, yang harus dijalankan oleh departemen terkait. Pimpinan koordinasi, ternyata, memang tidak bisa efektif pada level menteri sehingga harus dinaikkan pada level presiden atau wakil presiden.

* Didik J. Rachbini, ekonom, anggota DPR

Soekarno, Soeharto, and Acton theorem

[ Jum'at, 30 Mei 2008 ]
Soekarno, Soeharto, dan Dalil Acton
Oleh Moh. Mahfud M.D.

Siapa pun yang membaca sejarah pasti tahu bahwa Soekarno adalah salah seorang putra terbaik bangsa Indonesia yang berhasil memerdekakan Indonesia dari penjajahan asing pada 1945. Dia adalah pejuang yang mewakafkan lebih dari separo perjalanan hidupnya untuk membangun Indonesia sehingga tampil sebagai negara dan bangsa yang bermartabat.

Soekarno adalah pendiri negara dan peletak konsep bangsa Indonesia yang paling terkemuka, diakui kepemimpinannya oleh dunia internasional, dan disegani bangsa-bangsa lain. Soekarno adalah peletak dasar kehidupan bernegara yang demokratis bagi Indonesia.

Tetapi, tragisnya, Soekarno jatuh dari kekuasaannya karena (pada akhirnya) memerintah secara tidak demokratis dan banyak melakukan pelanggaran atas konstitusi.

Siapa pun yang membaca sejarah pasti tahu bahwa Soeharto adalah putra terbaik bangsa Indonesia yang menyelamatkan Indonesia dari krisis politik dan ekonomi, dan yang terpenting dari ancaman penyelewengan dasar dan ideologi negara (Pancasila), pada pertengahan 1960-an.

Soeharto adalah pemimpin Indonesia yang sejak muda meniti karier sebagai militer yang bekerja habis-habisan untuk mempertahankan kemerdekaan dan membangun Indonesia sebagai negara dan bangsa yang berdaulat. Dia adalah seorang yang rendah hati, yang dipilih oleh rakyat dan mahasiswa (angkatan '66) karena sifat kebapakannya dan menjanjikan kehidupan yang demokratis dan konstitusional bagi Indonesia.

Tetapi, tragisnya, Soeharto jatuh dari kekuasaannya karena (pada akhirnya) memerintah secara tidak demokratis dan menumbuhsuburkan korupsi yang hingga sekarang menjadi kanker ganas di Indonesia.

Pilihan Terbaik

Soekarno dan Soeharto tampil sebagai pimpinan bangsa pada masanya masing-masing bukan karena ambisi politik yang diraihnya dengan rekayasa yang curang. Saat itu mereka tampil karena pilihan politik yang objektif. Soekarno adalah putra terbaik yang tak tertandingi integritas, kecerdasan, dan kesediaannya berkorban untuk tegaknya negara Republik Indonesia.

Tanpa memiliki orang seperti Soekarno mungkin pada 1945 kita tidak dapat merdeka. Itulah sebabnya dia dipilih menjadi presiden tanpa ada yang keberatan. Soekarno tidak menonjol-nonjolkan diri untuk dipilih, tetapi rakyatlah (dengan suara aklamasi di PPKI) yang memilih dia.

Begitu juga Soeharto. Dia adalah putra terbaik bangsa yang (awalnya) dikenal jujur dan rendah hati. Saking rendah hatinya, semula dia menolak untuk dijadikan presiden, menggantikan Seokarno. Ketika pada 1966-1967 Soekarno jatuh setelah pergulatan (tarik tambang) segi tiga antara dirinya, TNI, dan PKI, ternyata Soeharto menolak dijadikan presiden.

Soeharto menolak menjadi presiden karena merasa tak sehebat Soekarno. Tak pernah bermimpi, apalagi menyiapkan diri untuk menjadi presiden. Setelah dipaksa-paksa, barulah pada 1967 Soeharto mau menerima jabatan presiden. Itu pun bukan persiden definitif, melainkan hanya sebagai ''pejabat presiden''. Saat itu Soeharto hanya mau menerima tugas sebagai pejabat presiden untuk satu tahun, yakni sampai pemilu yang harus diselenggarakan pada 1968.

Jadi, pada awalnya, tampilnya Soekarno dan Seoharto sebagai presiden adalah pilihan objektif karena memang dinilai paling tepat. Pada awal penampilannya masing-masing, keduanya merupakan orang-orang yang tulus, penuh integritas, dan demokratis.

Tetapi, kedua pemimpin yang (semula) dinilai demokrat sejati itu akhirnya dijatuhkan atau diberhentikian secara paksa justru karena memerintah secara tidak demokratis.

Misalnya, Soekarno dijatuhkan karena dinilai melakukan banyak pelanggaran atas konstitusi seperti membawahkan semua lembaga negara lainnya, membuat berbagai penpres secara sepihak sebagai pengganti UU tanpa proses legislasi yang konstitusional, dan memenjarakan lawan-lawan politik tanpa peradilan.

Soeharto dijatuhkan karena membangun sistem politik otoriter yang bertentangan dengan demokrasi dan konstitusionalisme. Soerharto yang semula tidak mau diangkat menjadi presiden ternyata pada akhirnya tidak mau kalau tidak menjadi persiden.

Dia melakukan rekayasa politik dan kontrol legislasi agar dirinya selalu terpilih menjadi presiden dan kekuasaannya terus berakumulasi tanpa batas sehingga (akhirnya) hanya bisa diberhentikan melalui operasi caesar.

Dalil Acton dan Konstitusi

Apa yang bisa menjelaskan perubahan Soekarno-Soeharto dari yang semula merupakan orang-orang ''saleh'' dan ''demokrat'' menjadi orang-orang yang otoriter atau (meminjam istilah ST Alisjahbana) despotis?

Salah satu jawabannya adalah adagium Acton yang sangat terkenal dalam ilmu politik. Lord Acton mengemukakan adagium yang kemudian diterima sebagai dalil dalam ilmu politik bahwa ''kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut itu absolut pula korupsinya (power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely).

Berdasarkan dalil Lord Acton itu dipahami bahwa siapa pun yang memegang kekuasaan akan terdorong untuk melakukan korupsi atau penyelewengan-penyelewengan jika tidak ada pembatasan kekuasaan yang tegas melalui konstitusi.

Orang yang baik pun kalau memegang kekuasaan akan terdorong untuk korupsi. Sebab, meskipun secara pribadi dia baik (sebutlah Soekarno dan Soeharto), lingkungan kekuasaan di mana dia ada akan terus mendorongnya untuk korup.

Di lingkungan kekuasaan biasanya banyak demagog atau begundal-begundal yang selalu mendorong penguasa untuk selalu memperbesar kekuasaannya karena sang begundal bisa kebagian kekuasaan pula. Para begundal itu biasanya kepada sang penguasa mengatakan, ''Negara ini masih memerlukan Bapak, rakyat masih ingin Bapak jadi presiden. Kalau Bapak berhenti, negara ini akan kacau. Bapak harus bersikap keras agar tak terjadi anarki....'' dan sebagainya.

Itulah sebabnya di negara demokrasi harus ada konstitusi yang membatasi kekuasaan secara ketat atau memagari dari kecenderungan korup itu. Dan, itu pula sebabnya kita tidak boleh alergi terhadap gagasan untuk memperbaiki konstitusi sejauh hal itu dimaksudkan untuk memagari kekuasaan dari kecenderungtan korup.

Moh. Mahfud M.D., guru besar hukum tata negara dan Hakim Konstitusi RI

Politik dalam kekerasan

[ Senin, 02 Juni 2008 ]
Bakorpakem: Polisi Harus Menindak Pelaku
Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) menyesalkan aksi kekerasan oleh Laskar Pembela Islam (LPI) kepada Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).

''Kami minta aparat (kepolisian) mengusut sekaligus menindak pelaku kekerasan,'' kata Wakil Ketua Bakorpakem Wisnu Subroto saat dihubungi koran ini kemarin (1/6).

Menurut Wisnu, aksi kekerasan tersebut tidak dapat diterima akal sehat. Saat pemerintah sedang mendinginkan suasana pasca keluarnya rekomendasi tentang Ahmadiyah, LPI justru memicu kekerasan.

''Ini jelas kontraproduktif,'' jelas Wisnu, yang juga Jaksa Agung Muda (JAM) Intelijen. LPI, lanjut Wisnu, seharusnya tetap membuka ruang dialog dengan kelompok yang tidak setuju pembubaran Ahmadiyah. ''Berbeda boleh, tetapi jangan sampai anarkis.''

Wisnu menjelaskan, dengan aksi kekerasan, SKB (surat keputusan bersama) tiga menteri terkait peringatan Ahmadiyah bisa ditunda hingga batas waktu tidak ditentukan.

Wisnu sendiri menolak apabila rekomendasi tentang Ahmadiyah menjadi pemicu aksi kekerasan tersebut. Sebaliknya, lanjut Wisnu, rekomendasi Bakorpakem malah memperjelas kasus Ahmadiyah. ''Sebelum ada rekomendasi kan sudah ada bakar-bakaran tempat ibadah. Kami justru membuat peta kasus tersebut menjadi sistematis untuk disikapi,'' jelas mantan kepala Kejati (Kajati) Sumatera Utara itu.

Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) geram atas tindakan pemukulan yang dilakukan FPI. Dia menuntut pemerintah bersikap tegas dan segera membubarkan organisasi tersebut.

''Para pelakunya harus ditangkap, termasuk juga Habib Rizieq,'' tegas Gus Dur di Kantor PB NU, Jl Kramat Raya, Jakarta, kemarin.

Menurut dia, perilaku para anggota FPI itu sudah tidak bisa ditoleransi lagi karena terus merusak tatanan demokrasi di negeri ini. ''Perilaku mereka telah merusak Pancasila,'' kata Gus Dur, gusar.

Dia mengatakan, saat peringatan hari lahir Pancasila yang tepat jatuh kemarin, justru FPI melakukan perilaku yang jelas melawan ajaran-ajaran Pancasila.(agm/rdl/dyn/mk)